13 Jun 2013

SEJARAH ETIKA


          Semangat dalam mengkaji sebuah disiplin ilmu sudah semestinya didahului dengan
pengetahuan tentang asal kemunculan ilmu tersebut atau kajian secara historis. Hal ini dilakukan
dengan tujuan proses pemahaman secara sistematis. Sehingga, kerancuan pemahaman dapat
dihindari.
Pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan di dunia semakin maju. Salah satu disiplin
ilmu adalah di bidang filsafat. Salah satu cabang ilmu filsafat yang mempelajari problematika kesusilaan
dan moralitas manusia adalah filsafat moral atau yang biasa disebut dengan Etika. Hal ini sesuai
dengan apa yang dikatakan A.C. Ewing (2003: 13), “Etika atau filsafat moral berhubungan dengan nilainilai dan konsep tentang ‘seharusnya’”.
Franz Magnis Suseno (1987: 14), mengatakan bahwa secara historis Etika sebagai usaha Filsafat
lahir dari keambrukan tatanan moral di lingkungan kebudayaan Yunani 2500 tahun lalu. Karena
pandangan-pandangan lama tentang baik dan buruk tidak lagi dipercaya, para filosof mempertanyakan
kembali norma-norma dasar bagi kelakuan manusia.
Yunani menjadi tempat pertama kali disusunnya cara-cara hidup yang baik ke dalam suatu sistem
dan dilakukan penyelidikan tentang soal tersebut sebagai bagian filsafat. Berkat pertemuannya dengan
para pedagang dan kaum kolonis dari berbagai Negara, orang-orang Yunani yang sering mengadakan
perjalanan ke luar negeri itu menjadi sangat tertarik akan kenyataan bahwa terdapat berbagai macam
kebiasaan, hukum, tata kehidupan, dan lain-lain. Bangsa Yunani mulai bertanya: Apakah miliknya, hasil
pembudayaan Negara tersebut benar-benar lebih tinggi? Karena tiada seorang pun dari Yunani yang
akan mengatakan sebaliknya, maka kemudian diajukanlah pertanyaan, “Mengapa begitu?” kemudian
diselidikinya semua perbuatan manusiawi, dan lahirlah cabang baru dari filsafat, yakni filsafat moral
(filsafat kesusilaan) atau etika (W. Poespoproddjo,1999: 18).
Banyak pengarang yang membuat hukum moral sama seperti kebiasaan, konvensi atau yang
disebut mores. Dalam pandangan ini, segala hal akan menjadi baik atau buruk bila sesuai dengan
anggapan masyarakat atau opini umum. Pandangan itu sebenarnya bukan baru. Sejak abad V sebelum
Masehi, Aristipus telah berpendapat bahwa tidak ada hal yang secara intrinsic baik atau buruk, tetapi
suatu hal itu baik atau buruk karena dibuat begitu oleh hukum atau kebiasaan (W. Poespoproddjo,1999:
19).
Pada tahun-tahun belakangan ini, semakin banyak filsuf menaruh minat pada etika terapan, yaitu
etika yang menangani masalah-masalah moral seperti yang ada, bukannya menangani teori moral yang
abstrak semata-mata (Virginia Held, 1991: 9).
Banyak pertanyaan tak terjawab memenuhi benak para pengkaji Filsafat Islam: mengapa studi
etika tidak mendapatkan porsi layaknya studi-studi lain?. Bagaimana mungkin etika, yang merupakan
objek kajian paling dekat dengan agama, tak mendapat cukup perhatian dari para pemikir Islam?.
Di dalam tulisan ini, kami mencoba untuk memaparkan sejarah perkembangan Etika, dari sejak
periode Yunani, periode abad pertengahan, periode Bangsa Arab, dan terakhir periode abad Modern.
Kami sadar sepenuhnya, tulisan ini sangant jauh dari kesempurnan, maka dari itu, kritik dan
saran yang membangun sangat kami harafkan untuk perbaikan di kemudian hari.
PEMBAHASAN.
1. Etika periode Yunani
Penyelidikan para ahli Filsafat tidak banyak memperhatikan masalah Etika. Kebanyakan dari
mereka melakukan penyelidikan mengenai alam. Misalnya; bagaimana alam ini terjadi? Apa yang
menjadi unsur utama alam ini? dan lain-lain. Sampai akhirnya datang Sophisticians ialah orang yang
bijaksana yang menjadi guru dan tersebar ke berbagai negeri.
Socrates dipandang sebagai perintis Ilmu Akhlak. Karena ia yang pertama berusaha dengan
sungguh-sungguh membentuk perhubungan manusia dengan ilmu pengetahuan. Dia berpendapat
akhlak dan bentuk perhubungan itu, tidak menjadi benar kacuali bila didasarkan ilmu pengetahuan.
(Ahmadamin, 1975: 45)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar